Kekurangan Sekaligus Kelebihan Pangan
Gaya hidup tak sehat dan pasar produk pangan mengakibatkan makin banyak makanan tak sehat. Hidangan cepat saji menjamur. Konsumen mendapat akses mudah terhadap makanan yang mengandung lemak, gula atau garam berlebihan.
Kebijakan pertanian, globalisasi pasar dan pemasaran pangan bahu-membahu membuat beberapa produk pangan jadi sangat murah: jagung, kedelai, dan gandum. Subsidi besar-besaran di Uni Eropa dan Amerika Serikat untuk produk pangan ini berakibat pada produksi berlebih, harga murah, yang kemudian 'dibuang' ke seluruh penjuru dunia.
Akibat murahnya jagung misalnya, produk nugget, sereal manis, atau minuman manis berisi sirup jagung tinggi fruktosa (HFCS) gampang didapatkan di pasar. Di Indonesia, kedelai umumnya masih diolah menjadi tempe dan tahu—namun tidak di tingkat global. Kedelai digunakan untuk makanan olahan serta pakan ternak, yang mengakibatkan produk daging olahan macam sosis dan burger bisa dibeli dengan murah. Sementara gandum adalah bahan baku mi instan atau roti, yang juga kurang baik bagi diet kalori.
Masalah pangan seperti ini sebenernya sudah masuk dalam aturan hak asasi manusia dan diakui lewat Deklarasi Universal Hak Asasi Manusia (DUHAM). Tujuan utama hak atas pangan ini adalah demi melindungi umat manusia agar bisa hidup layak, bebas dari kelaparan dan malnutrisi.
Namun belakangan, seperti contoh kasus Indonesia, hak atas pangan ternyata tak bisa dipandang dari satu arah saja, terutama cuma dari sudut pandang ‘agar tidak kelaparan’. Hak atas pangan harus juga mencakup asupan makanan yang cukup nutrisi dan sehat, juga termasuk bagaimana cara mengaksesnya.
Pelapor khusus Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) untuk hak atas pangan, Olivier de Schutter, merilis sebuah dokumen tentang hak atas pangan dan nutrisi pada awal Maret lalu.
Dalam laporan tersebut ia menyatakan ada yang salah pada sistem pangan saat ini. Menurut Organisasi Pangan dan Pertanian Dunia (FAO), sekitar 925 juta orang menderita kelaparan dan jutaan lainnya menderita kekurangan nutrisi mikro seperti vitamin dan mineral pada tahun 2010. Di sisi lain, 1,3 miliar jiwa ternyata menderita kelebihan berat badan atau kegemukan yang berlebih (obesitas).
Dua sisi inilah yang disorot oleh sang pelapor. Dokumen setebal 22 halaman itu juga dipresentasikan di tengah sidang Dewan HAM PBB pada tanggal 6 Maret baru-baru ini.
Pada kasus kelaparan dan kekurangan nutrisi, ia menyoroti yang terjadi pada anak-anak. Sekitar 34 persen anak-anak di negara berkembang atau total 186 juta jiwa (Indonesia termasuk di dalamnya) ternyata bermasalah tinggi badan—salah satu gejala umum kekurangan gizi. Kekurangan vitamin A diderita sekitar 100 juta anak-anak, yang dapat mengakibatkan kebutaan, pertumbuhan tak sempurna, serta kurangnya kekebalan tubuh.
Sementara untuk masalah kelebihan berat badan dan obesitas, laporan tersebut menyoroti kondisi rakyat di negara maju. Saat ini orang yang indeks massa tubuhnya (BMI atau Body Mass Index) di atas 25 dikategorikan kelebihan berat badan, dan jumlahnya 1 milyar lebih. Sementara yang BMI-nya lebih dari 30 divonis menderita obesitas dan di seluruh dunia diderita sekitar 300 juta jiwa.
Masalah kelebihan berat badan dan obesitas ini telah terjadi di negara-negara maju anggota Organisasi untuk Kerjasama dan Pengembangan Ekonomi (OECD). Di 19 dari total 34 negara anggota, 50 persen atau lebih dari total populasi di negara-negara tersebut menderita satu atau keduanya.
Kekurangan dan kelebihan asupan pangan adalah tantangan global yang kita hadapi saat ini. Keduanya berpotensi mengakibatkan kematian, dan kedua-duanya merupakan pelanggaran hak atas pangan yang serius.
Kesimpulannya, dalam masalah hak atas pangan ternyata kenyang saja tidak cukup. Kemampuan untuk mendapatkan diet yang seimbang dan bergizi juga menjadi dimensi yang penting. Dalam hal ini, negara-negara di seluruh dunia memiliki kewajiban untuk menghormati, melindungi dan memenuhi hak-hak tersebut. Dengan kata lain, pemerintah tak boleh absen untuk mengamankan hak-hak yang tercakup di atas.
Lalu apa yang bisa dilakukan? Sang pelapor khusus mengajukan beberapa tawaran. Pemerintah bisa memberlakukan pajak untuk produk pangan yang dianggap tak sehat, atau mengatur pangan dengan kadar lemak, garam dan gula berlebih. Iklan makanan juga harus diatur—mungkin seperti yang dikenakan pada produk minuman beralkohol atau rokok.
Konsumen juga harus lebih pintar, bisa dengan mengetahui komposisi bahan serta dari mana makanan tersebut berasal.
Di tingkat yang lebih terstruktur, kebijakan produksi pangan dunia juga harus diubah drastis, seperti kebijakan subsidi pertanian yang intensif di Eropa dan Amerika Serikat, serta ekspor pangan hasil kelebihan produksi yang dilempar murah ke negara-negara tujuan. Praktik-praktik inilah yang telah terbukti menghancurkan sistem pangan lokal.
Di tingkat nasional, perubahan drastis tersebut harus dibarengi dengan digalakkannya produksi pangan lokal. Konsumen dan pemerintah juga bisa bahu-membahu untuk kampanye konsumsi pangan lokal. Dengan praktik ini, konsumen bisa mendapatkan pangan yang sehat, segar dan bergizi, termasuk juga alternatif pangan yang diproduksi dengan cara-cara yang lebih ramah lingkungan dan berkelanjutan. Menggalakkan pangan lokal juga berarti membantu produsen pangan di pedesaan—yakni mereka yang terutama menderita kelaparan dan kemiskinan.
Mohammed Ikhwan adalah penulis, kini aktif dalam isu hak asasi petani dan lingkungan di Serikat Petani Indonesia.
sumber : Yahoo News!
0 komentar:
Posting Komentar